Alunan Budaya di Desa Sindang Barang.

''hayuk, ulin sareungan...''  "ayo main bareng..."
''... tah gantian jajangkunganna''.  "...gantian dong engrangnya"
''euleuh, seueur tamu ieu enjing''. "wah, banyak tamu pagi ini"
Suara ceria anak-anak Desa Sindang Barang yang sedang berlarian di antara lembutnya belaian sinar matahari pagi dan alunan merdu kendang serta angklung berukuran besar menjadi sambutan hangat kedatangan kami di akhir pekan dua minggu yang lalu.


Dalam sekejap, kepenatan yang terbawa dari ibukota sirna diganti kesegaran serta kedamaian. Udara segar dan bersih begitu terasa memberi kenyamanan.
Bersama rekan-rekan peserta Travel Workshop yang diadakan oleh ID Corners, saya berjalan perlahan melewati lapangan hijau yang sangat terawat. Imah gede berdiri kokoh di sisi kiri sebelum saya menyusuri deretan leuit / lumbung yang sebagian sedang mengalami proses renovasi serta beberapa pasangrahan / penginapan menuju bale riungan / aula desa.
Seperti tipikal arsitektur tropis tradisional, bangunan-bangunan tersebut menggunakan material dari bahan-bahan alami; kayu serta anyaman bambu. Bagian atas bangunan berupa atap miring model pelana (khusus untuk leuit) dan limas (imah gede & pesanggrahan) masih berbahan ijuk yang dilapisi dengan daun kirai pada bagian dalamnya. Semua masih mempertahankan keasliannya, baik dari bentuk maupun bahan bangunan. Di sinilah saya makin terpana dengan kearifan lokal yang tetap dilestarikan.
Imah Gede atau Rumah Besar, yang merupakan tempat berkumpul dan bermusyawarah masyarakat dengan tetua adat dan kokolot (sesepuh kampung adat).
Leuit atau Lumbung, sebagian sedang direnovasi. Bahan atap berupa ijuk dan daun kirai diganti setiap 5 tahun sekali.
Di benak saya saat itu, 'kog saya baru tahu ada desa setentram ini tak jauh dari Ibukota'. Ternyata 10 tahun bermukim di Jakarta Selatan yang notabene tidak terlalu jauh dari Bogor, tidak menjamin saya cukup mengetahui tempat-tempat menarik yang seharusnya dapat dengan mudah saya kunjungi.
Desa Budaya Sindang Barang, terhampar indah pada ketinggian 375m dpl di kaki Gunung Salak, tepatnya Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Sebenarnya letaknya hanya berjarak 5 km dari Kota Bogor, hanya saja jalan menuju Desa tersebut cukup berliku dan mendaki. Perlu kendaraan yang cukup kuat untuk mencapai Desa tersebut.

Satu hal yang cukup menarik perhatian saya adalah sebutan Desa Budaya yang tersemat di depan nama desa tersebut.
Ada ribuan desa di Tanah Air kita ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada 2018. Tetapi tidak semua bisa menyematkan titel Desa Budaya tentunya.
Desa budaya adalah desa yang mengekspresikan, mengembangkan, memelihara, mengkonservasi potensi desa tersebut yang berkaitan dengan kebudayaan.
Sebagian dari kita pasti cukup familiar dengan Kampung Baduy di Banten, Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat atau Desa Panglipuran di Bali. Itulah beberapa contoh Desa/Kampung Adat yang hingga kini dipelihara kelestarian budayanya. 'Gelar' desa budaya yang disandang oleh tempat tersebut menjadikan desa tersebut lebih memiliki kesadaran serta komitmen untuk menjaga warisan budaya yang dimiliki.

Jika menoleh pada latar belakang sejarahnya, Desa Sindang Barang diyakini sudah ada sejak abad ke XII. Tertulis dalam Babad* Pajajaran dan dalam Pantun Bogor, bahwa Sindang Barang diyakini sebagai kerajaan di bawah Prabu Siliwangi dengan Kutabarang sebagai ibukotanya. Selain itu, Sindang Barang adalah keraton tempat tinggal salah satu istri Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda.
Dari sejarah tersebutlah, maka Sindang Barang menjelma menjadi Desa Budaya yang berusaha meneruskan kearifan lokal dari akar tradisi leluhur mereka.

*babad : karya sastra/cerita yang mengandung unsur sejarah.

Untuk sebagian wisatawan, mungkin sedikit bingung, apa saja yang bisa dilakukan di Desa Budaya Sindang Barang ini.
Apakah hanya berkeliling dan melihat-lihat saja? mencari instagramable spot?
ternyata banyak hal menarik yang bisa dilakukan saat mendatangai Desa Budaya ini.

1. Berinteraksi dengan masyarakat desa.
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkesempatan berbincang dan berinteraksi dengan warga setempat. Kita terpapar dengan informasi langsung dari sumbernya, asli tanpa perantara. Di sela obrolan kita pun berkesempatan melihat dan meresapi yang menjadi bahan perbincangan.

Saat berkeliling seputaran Desa dan melihat proses renovasi leuit/lumbung padi, obrolan santai dengan beberapa tukang yang sedang memasang lapisan atap leuit pun terjadi. "Daun kirai masih bisa dikumpulkan dari daerah sekitar sini. Asalkan cukup kering, akan tahan hingga 5 tahun ke depan", ujar Bapak dengan penuh semangat. Proses dilakukan secara manual, sangat menarik.
Pemasangan lapisan atap leuit berupa daun kirai pada bagian dalam dan ijuk pada bagian luar.
Daun Kirai yang siap dipasang sebagai pelapis atap leuit/lumbung.
Banyak informasi menarik yang dapat kita peroleh dengan berinteraksi langsung dengan warga lokal.

2. Menyaksikan pertunjukan/atraksi budaya.
Menyaksikan tarian tradisional yang dibawakan secara alami oleh masyarakat Desa memberi nuansa yang berbeda dengan menyaksikan pertunjukan yang dibawakan penari profesional. Apalagi pertunjukan diadakan di halaman terbuka yang asri. 
Alunan musik dan lagu dari berbagai jenis alat musik tradisional yang dibawakan secara live membuat kami yang menyaksikannya merasa begitu tersentuh. Kesederhanaan dan keaslian yang ditampilkan menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Secara rutin, setiap hari Sabtu, pukul 10 pagi, diadakan pertunjukan tari-tarian tradisional di lapangan Desa Sindang Barang.
Silahkan atur jadwal kunjungan ke sana!

Inilah beberapa atraksi budaya yang sempat kami saksikan di Desa Budaya Sindang Barang.

Barudak Kaulinan (Permainan Anak)


Dengan berkonstum kebaya, sarung serta selendang warna-warni cerah, sekitar duapuluhan anak perempuan menari, bermain dan berlarian dengan lincah. Aura keceriaan terlihat dan tentu terbawa kepada kami yang menyaksikannya. Sungguh sebuah sajian yang sangat menyenangkan.
Permainan ular-ularan (oyar-oyaran -Sunda), yang cukup familiar bagi kami pun tetap menjadi sangat menarik karena dibawaian dengan lagu Sunda anak-anak.

𝆕𝅘𝅥 ... Oray-orayan luar leor ka sawah
ulah ka sawah parena keur sedeng beukah
oray-orayan luar leor los ka kebon
entong ka kebon, di kebon loba nu ngangon ...𝅘𝅥𝅰𝅗𝅥𝅘𝅥𝅮


Tari Rampak Gendang
Gadis-gadis cantik yang sangat energik membawakan atraksi Rampak Gendang ini. Dengan gerakan sangat kompak mereka menari dan memukul gendang dengan irama yang indah. Beberapa dari kami pun cukup terpana dengan hentakan gendang yang membahana.
Rampak yang berarti serempak, sedang gendang atau kendang merupakan alat musik pukul yang merupakan salah satu instrumen penting dalam gamelan yang berfungsi mengatur irama.
Ada makna filosofi di balik kesenian Rampak Gendang ini. Atraksi ini merupakan cerminan masyarakat Sunda yang guyup serta mengedepankan sifat-sifat ceria dan suka bergotong royong.

Tari Merak
Dengan konsum yang sangat indah, dua penari yang memerankan sebagai sepasang burung merak melenggang lenggok membawakan tarian ini. Sesuai dengan nama tariannya, Tari Merak, kedua penari seolah memerankan sepasang burung merak. Sang merak jantan berusaha memikat merak betina dan kemudian keduanya menari dengan sangat harmonis, mengepakkan sayap, menggerakkan kepala dan terbang ke sana-kemari. Sebuah tarian yang sangat indah.

Gerakan tari Merak ini adalah hasil karya seorang kareografer Jawa Barat, Tjetjep Soemantri di tahun 1950an. Kemudian berkembang dan menjadi salah satu tarian Sunda yang sangat populer hingga pada pertunjukan tingkat internasional.

Angklung Gubrak
Berbeda dengan angklung yang selama ini seringkali kita saksikan dalam berbagai pertunjukan/atraksi, angklung gubrak ini berukuran besar dan dihias dengan kembang wiru pada bagian atasnya, yang akan bergoyang saat angklung dimainkan. Terlihat lebih atraktif. Terbuat dari bambu hitam yang memang banyak ditemukan di Jawa Barat, bambu hitam ternyata dapat menghasilkan bunyi yang lebih nyaring. 

Selain ukurannya yang lebih besar, satu lagi yang membedakan angklung gubrak dengan angklung pada umumnya, angklung jenis ini tidak mempunyai nada, hanya bunyi 'gubrak'.  
Menurut sejarahnya, angklung ini telah ada di Kabupaten Bogor sejak 400 thn yang lalu dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian. Kegiatan Melak Pare (menanam padi), Ngunjal Pare (mengangkut padi) dan Ngadiukeun (menempatkan) ke leuit/lumbung selalu diawali dengan kegiatan Angklung Gubrak.

Masyarakat Sunda meyakini bahwa suara yang keluar dari angklung gubrak ini dapat menggetarkan tumbuhan, sehingga pada akan cepat tumbuh. Inilah yang menjadi alasan penggunaan iring-iringan angklung gubrak pada beberapa kegiatan pertanian di Desa ini.


Jadi siapa yang biasanya memainkan angklung gubrak ini?
Karena acara yang dilakukan berhubungan dengan Dewi Kesuburan, maka pemainnya adalah kaum perempuan. Mereka diharuskan memakai baju kapret & celana pangsi, serta dilengkapi dengan penutup kepala atau iket. Menarik sekali ya.

Parebut Seeng
Pertunjukan ini dibawakan oleh dua orang lelaki berbaju hitam khas Sunda dan merupakan kombinasi cantik antara seni tari dan seni beladiri. Biasanya atraksi ini dibawakan pada upacara khitanan, pernikahan dan saren tahun.

Atraksi ini sebenarnya sederhana saja. Seorang peserta membawa seeng, yaitu tungku nasi tradisional yang diikatkan dibagian punggungnya. Peserta lainnya akan berusaha menyentuh seeng tersebut. Jika demikian maka seeng harus diserahkan kepada peserta yang telah menyentuh seeng tadi.

Ada makna filosofi di balik perebutan seeng tersebut, yaitu bentuk pengendalian diri, karena kemenangan terbesar seseorang sebagai mahluk hidupa adalah bila berhasil mengendalikan hawa nafsunya sendiri.

Tari Mojang Priangan.
Tentu kita ingat sebuah ungkapan 'Tanah Pasundan diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum'.
Maka tak heran jika tanah ini dilimpahi tanah yang subur, indah serta tak lupa... mojang Priangan yang cantik.

Maka inilah tarian yang menceritakan kecantikan dan keelokan itu. Dengan kebaya berwarna cerah serta kain batik Sunda di bagian bawah, dengan riasan minimalis tetapi tetap mengeluarkan aura kecantikan mojang priangan.
Dengan gemulai dan lincah mereka menarikan berbagai gerakan yang memang membutuhkan penguasaan beberapa gerakan tarian.

3. Menikmati sajian khas Sunda.
Menikmati sajian tradisional selalu menjadi hal wajib dalam suatu perjalanan. Melalui makanan lokal setempat, lidah serta indra penciuman kita pun akan semakin akrab dengan tempat baru yang kita datangi. Sesederhanan apapun itu. 

Betapa saya bahagia sekali melihat tumpukan aneka rebusan tersaji di meja balai riungan, sesaat setelah tiba di balai riungan. Sudah cukup lama tidak menikmati makanan ini... pisang rebus yang empuk, ubi rebus yang manis serta jagung rebus yang masih cukup hangat. Ditemani munuman hangat yang tersedia di meja, sambutan akrab khas pedesaan makin terasa.
...dan siang hari itu, kembali kami menikmati sajian makan siang khas Sunda.
Semua masakan hangat itu adalah hasil dapur Desa Sindang Barang.
Raos pisan!

4. Mengadakan workshop di Balai Riungan
Balai Riungan / Aula Desa Sindang Barang
Ide yang sangat brilian, mengadakan workshop di aula desa ini.
IDCorners, saya salut dengan idenya!!
Di Balai Riungan / Aula Desa inilah kami para peserta IDCorners Travel Workshop berkumpul.
Sungguh ini adalah suatu pengalaman saya mengikuti workshop singkat dengan materi yang sangat bermanfaat dan dapat diikuti dengan sangat menyenangkan. 
Bayangkan, workshop dengan duduk santai di aula yang lapang di antara sejuknya udara pedesaan. Tidak hanya itu, materi yang diberikan pun sangat tepat sasaran.
Workshop pertama dibawakan oleh Uni Rai (@raiyanim) tentang Travel Photography.
Uni yang sudah sangat berpengalaman, mengajar dengan sabar, termasuk ketika harus menjawab beberapa pertanyaan saya. Foto-foto Uni yang menjadi contoh bahan  perlajaran ... sungguh luar biasa indah.

Untuk suatu scene, semua orang bisa memotret bersamaan, tetapi hasilnya tentu akan berbeda-beda. Pada akhirnya, "angle-lah yang akan membuat foto kita lebih spesial", itu lah yang paling nyangkut di kepala saya.
Kami ditantang untuk mencoba berbagai sudut pengambilan foto yang lebih ekstrim untuk mendapatkan hasil yang unik.
Maka praktek motret dengan low angle pun menjadi favorit saat praktek motret siang itu.
Mudah-mudahan kami akan semakin berani dan tidak malas bergerak untuk mendapat angle yang berbeda, tidak biasa-biasa saja...
Workhop berikutnya dibawakan oleh Mbak Donna (@travelecturer) mengenai Travel Blogging.
Semua dijelaskan dengan singkat dan padat. Untuk saya, seolah tergugah untuk memperbaiki banyak kekurangan saat penulisan blog. Mengikuti workshop ini, saya seolah mendapat suntikan semangat untuk kembali rajin menulis.
Ada banyak hal yang kembali diingatkan oleh Mbak Donna melalui workshop ini; membuat tulisan yang informatif, deskriptif dan kaya akan pengalaman emosional. Juga untuk menemukan keunikan dari setiap perjalanan serta menuangkannya dalam bentuk tulisan yang menarik.
Bisa gak yaaa??

Satu hal yang menarik adalah acara bertajuk Telisik Budaya Bogor ini didukung oleh Fuji Indonesia, yang menyediakan beberapa camera Fuji XA5 dan Fuji XT100 untuk dicoba. 
Fuji Film X-A5 yang sempat dicoba saat workshop. Foto dari IG fujifilm_id
Ini adalah camera idaman untuk traveling. Selain bentuknya yang cantik dengan ukuran yang praktis untuk dibawa-bawa, flip LCDnya pun sangat menggoda untuk digunakan mencari angle-angle special yang tentu akan membuat foto menjadi makin unik, seperti kata Uni Rai di pelajaran memotret tadi.
Suasana ketika peserta workshop memotret pertunjukan budaya. Difoto dengan menggunakan Camera Fuji XT-100
Mbak Donna saat mengajar Travel Blogging/Writing. Difoto menggunakan Camera Fuji XT-100
Camera Fuji XA-5 dengan 24.2MP APS-C CMOS Sensor dengan tilting LCD dan touch screen pula, tentu akan sangat memudahkan traveler untuk menggunakannya serta menghasilkan foto-foto dengan hasil yang berkualitas baik. Nah jangan lupa, camera ini dilengkapi dengan Bluetooth Connectivity, sehingga para traveler/blogger akan mudah berbagi foto-fotonya tanpa harus mencari laptop untuk mendownload foto. Tinggal transfer ke HP dan share kepada dunia! :))

5. Menginap
Nah, inilah pilihan yang cukup menarik untuk menikmati Desa Budaya Sindang Barang dengan maksimal. Menginap.
Kedua rumah tradisional ini disewakan sebagai tempat penginapan.
Tersedia dua tempat penginapan yang sangat mirip dengan rumah penduduk. Masing-masing berkapasitas 10 dan 20 orang. Tentunya selama menginap kita dapat menikmati berbagai aktifitas di desa, seperti halnya warga setempat.
Tertarik? Jangan lupa untuk mendaftarkan dulu ke pengurus Desa ya.

Desa Budaya Sindang Barang adalah profil peradaban masa lalu yang sarat nilai, sarat budaya, penuh dengan kedamaian, kejujuran, dan spiritual.
Mudah-mudahan Desa Budaya ini tetap terpelihara dan dikelola dengan arif dan bijak.
Sungguh menyenangkan bisa berkesempatan menikmati keunikan Desa ini.
------------------------------
Hidden gems.
Berada di kaki Gunung Salak, bukan berarti Desa Budaya Sindang Barang berada in the middle of nowhere. Berlokasi di lingkung tanah pertanian yang subur, populasi yang cukup padat serta beragam aktifitas tipikal masyarakat majemuk, sekitar Kabupaten Bogor ini menyimpan banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Maka perjalanan ke Desa ini bisa direncanakan untuk sekaligus mengunjungi beberapa tempat menarik lainnya. Ada Pura Hindu, Pabrik Sepatu, Rumah Sutra, bahkan berwisata kuliner pun bisa menjadi alternatif menyenangkan. Jangan lupa, ada beberapa air terjun cantik yang bisa menjadi alternatif tujuan.

Rumah Sutra adalah salah satu tempat yang sempat kami kunjungi. Sungguh di luar dugaan saya, siang itu berkesempatan melihat secara langsung proses yang begitu panjang dan rumit ...dari ulat, daun murbey, hingga proses pemintalan dan menjadi benang kemudian menjadi lembar-lembaran kain yang cantik. Luar biasa.
Ulat yang sedang diberi daun murbey (ki), Melepaskan kokon dari raknya (ka)
Memilah kokon (kepompong ulat sutra) (ki), Alat pintal benang (ka)
Proses menenun benang menjadi kain 
Benang hasil pemintalan (ki), Hasil akhir berupa kain sutra yang cantik (ka)
Cerita panjangnya akan saya tuliskan di posting berikutnya. Mudah-mudahan foto-foto di atas dapat memberi sedikit gambaran mengenai pengalaman asyik kami di sana.

Terima Kasih untuk IDCorners yang telah mengadakan acara keren ini, juga Fuji Film Indonesia yang telah mendukung acara workshop. Semoga kita semua senantiasa diberi kesehatan untuk memelihara dan menikmati keindahan tanah air tercinta ini.

Comments

Di Indonesia banyak desa wisata budaya kayak gini ya. Sindangbarang jadi desa budaya pertama yang aku datangi, semoga selanjutnya bisa ke Panglipuran, Bali.
Dewi Rieka said…
Wah happy ya mbak piknik di Sindangbarang walaupun medannya cukup berliku :)
Hani said…
Wah, msh aktif jalan2.. luarbiasa